MIFU Kenalkan Situs Budaya Bojonegoro Kepada Siswa Melalui Kegiatan CTL

mifunew – di awal semester genap tahun pelajaran 2018/2019 (tepatnya hari Selasa, 29 Januari 2019) MI Fathul Ulum Sumberjokidul kembagi melanjutkan Program CTL yang sudah teragendakan, kali ini kegiatan CTL diikuti kelas I dengan jumlah 22 siswa dan 3 orang guru pendamping, beda dengan kegiatan CTL sebelumnya, kegiatan CTL kali ini menitikberatkan tentang pengetahuan sejarah dan situs budaya yang ada di Bojonegoro, “Jas Merah : Jangang Pernah melupakan sejarah” ungkap Muhanan, S.Pd.I selaku penaggungjawab kegiatan CTL. 

Adapun situs budaya yang dikunjungi adalah Wisata Api Abadi “Kayangan Api” yang berada di Desa Sendangrejo Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro, dengan mengunjungi tempat ini diharapkan siswa mengetahui akan sejarah terbentuknya kayangan api dan juga bisa mengaitkannya kejadian tersebut dengan ilmu pengetahuan (IPA).

Menurut mbah Juliono juru kunci konon terdapat seorang pembuat benda pusaka pada zaman  Kerajaan Majapahit yang bernama Mbah Kriyo Kusumo. Setelah bertahun-tahun membuat benda pusaka di perkampungan, Mbah Kriyo Kusumo kemudian bertapa dan tirakat di tengah hutan. Dia membawa api dan menyalakannya di bebatuan, tepat di sebelah tempatnya bersemedi. Api itulah yang menyala hingga saat ini dan menjadi cikal bakal Kayangan Api.
Selain terdapat Kayangan Api , di sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau belerang yang biasa di sebut warga Sumur Blekutuk. Menurut kepercayaan, saat itu Mbah Kriyo Kusumo masih beraktivitas sebagai pembuat alat-alat pertanian dan pusaka seperti keris, tombak, cundrik dan lain-lain.  Mbah Kriyo Kusumo atau Empu Supa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pande yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada bukti historis yang penting yang menguatkan kahyangan api dengan ditemukannnya 17 lempeng tembaga yang berangka 1223 / 1301 Masehi.
Letak dari Kayangan Api ini sendiri berada  di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu Bojonegoro, Jawa Timur pada tanggal 12 Maret 1992 tersebut, berbahasa jawa kuno yang menurut penelitian berasal pada zaman Raja Majapahit I yakni, Kertarajasa Jaya Wardhana. Isi dari prasasti tersebut, adalah pembebasan desa Adan-adan dari kewajiban membayar pajak dan juga ditetapkannya daerah tersebut sebagai sebuah sima perdikan atau swantantra. Penghargaan ini diberikan oleh Raden Wijaya terhadap salah satu rajarsi (pungawa, red) atas jasa dan pengabdiannya yang besar terhadap Kerajaan Majapahit saat itu. Dan rajarsi tersebut tidak lain adalah Empu Supa yang lebih mashur dengan sebuatan Mbah Pande.

Menurut cerita, api tersebut hanya boleh diambil jika ada upacara penting seperti yang telah dilakukan pada masa lalu, seperti upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X dan untuk mengambil api melalui suatu prasyarat yakni selamatan atau wilujengan dan tayuban dengan gending eling-eling, wani-wani dan gunungsari yang merupakan gending kesukaan Mbah Kriyo Kusumo. Oleh sebab itu ketika gending tersebut di alunkan dan di tarikan oleh waranggono (penembang lagu jawa, red) tidak boleh ditemani oleh siapapun. Kepercayaan tersebut, dipegang teguh oleh masyarakat Bojonegoro. Ini terbukti, pada acara ritual pengambilan api tersebut juga dilakukan digelar. Terlebih, pengambilan api PON yang pertama dilakukan di pimpin oleh tetua masyarakat yang dipercaya pada saat itu. Sementara untuk prosesi tersebut meliputi, Asung sesaji (menyajikan sesaji) dan dilanjutkan dengan tumpengan (selamatan).

Pada hari-hari tertentu terutama pada hari Jum’at Pahing banyak orang berdatangan di lokasi tersebut untuk maksud tertentu seperti agar usahanya lancar, dapat jodoh, mendapat kedudukan dan bahkan ada yang ingin mendapat pusaka. Acara tradisional masyarakat yang dilaksanakan adalah Nyadranan (bersih desa) sebagai perwujudan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. (han)